Buruh Menanti (Berakhirnya)
Outsourcing
Slamet Soesanto
Tuntutan buruh untuk menolak praktek outsourcing melalui
aksi demo yang masive beberapa waktu yang lalu telah membuahkan hasil. Usaha pemerintah
memperketat praktek outsourcing merupakan “buah” dari tuntutan tersebut
tercermin dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 19 Tahun
2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada
Perusahaan Lain resmi diberlakukan sejak Senin 19 November 2012. Seiring dengan
diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138 Tahun 2012 oleh Menteri
Hukum dan HAM. Permenakertrans ini sekaligus mencabut dua keputusan menteri yang lain yakni
Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian
Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Kepmenakerstrans No 101 Tahun
2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kedua
keputusan tersebut ditengarai sebagai salah satu sumber dari “hingar bingar”
praktek outsourcing.
Secara umum, Permenakertrans No 19 ini memperketat
keberadaaan perusahaan outsourcing mengubah pengaturan soal syarat dan
tata-cara praktek outsoucing. Sebut saja
soal syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing
harus PT. Permenakertrans ini juga melarang perusahaan pemborong pekerjaan yang
tidak berbadan hukum. Hal lain yang
diatur dalam Permenakertrans No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian
pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi
ketenagakerjaan setempat beserta sangsi hukum atas pelanggarannya. Ijin
operasional perusahaan penyedia jasa pekerja di dalam Permenaker ini hanya
untuk tiga tahun dan berlaku hanya di satu provinsi. Dicantumkannya
perlindungan bagi pekerja outsourcing, misalnya jaminan kelangsungan bekerja, jaminan perhitungan
masa kerja, hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak
mendapatkan ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing.
Meskipun Permenakertran ini tidak secara total menghapus
praktek outsourcing. Namun terbitnya Permenakertran
tersebut disambut dengan reaksi yang berbeda. Para buruh bersuka cita atas
terbitnya Peraturan ini karena selama ini mereka menganggap outsourcing seperti perbudakan modern. Berbeda
halnya dengan respon pengusaha perusahaan outsourcing yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih
Daya Indonesia maupun pengguna outsourcing yang tergabung
dalam Asosisai Pengusaha Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia atas
terbitnya peraturan ini. Mereka melakukan perlawanan atas terbitnya permenakertrans
tersebut dengan mendaftarakan uji materi ke Mahkamah Agung dan telah
diregister dengan Nomor 13P/HUM/Th.2013 tanggal 18 Februari 2013.
Kerja kontrak
tetap berlangsung
Apapun
hasil akhir dari upaya para pengusaha mendaftarkan uji materi ke MA bukan
jaminan bahwa kerja dengan mekanisme outsourcing ataupun sistem kontrak akan
hilang dan bukan pula pekerja otomatis
akan sejahtera. Memang ruang gerak praktek perusahaan
jasa penempatan tenaga kerja semakin sempit, namun dengan berganti “baju”
perusahaan tersebut masih bisa leluasa melakukan praktek outsourcing. Tanpa
melanggar peraturan formal yang ada, melalui sistem pemborongan pekerjaan,
perusahaan outsourcing akan beroperasi berdasarkan kontrak kerja yang sudah
tertentu nilai rupiah dan jangka waktu pengerjaannya. Perusahaan outsourcing
akan mencari tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan kualifikasi borongan
pekerjaan yang diterimanya. Mereka kemungkinan besar akan merekut pekerja
dengan sistem non permanen dengan masa kontrak maksimal sesuai dengan jangka
waktu nilai kontrak pekerjaan borongannya. Dan ini akan terus belangsung untuk
seluruh jenis pekerjaan yang diborongkan di segala sektor industri. Jika
kontrak borongan pekerjaan selesai maka selesai pula kontrak kerja pekerjanya.
Status pekerja akan selalu sebagai pekerja kontrak sepanjang tahun sepanjang
masa. Isu ketenagakerjaan hanya beralih dari perusahaan pengguna jasa
outsourcing ke perusahaan pemborongan pekerjaan yang jumlahnya dari waktu ke
waktu akan semakin banyak. Dan semakin sulit untuk dikontrol mengingat jumlah
pengawas ketenagakerjaan yang terbatas dengan sebaran wilayah dan jenis
industri yang sangat beragram. Akibatnya kesejahteraan para buruh akan tetap
sama sebagaimana sebelumnya dan penderitaannya tak kunjung berakhir. Dan peristiwa akan selalu berulang, demo buruh,
mogok kerja, turun ke jalan.
Bukan Sekedar Status
dan Upah Minimum
Pentingnya
moralitas pengusaha dalam menjalankan strategi bisnis, pengusaha jangan hanya
memikirkan cara akumulasi keuntungan meningkat dari tahun ke tahun. Sementara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan
“dikendalikan” sedemikian rupa seakan-akan pekerja bisa diganti kapan saja
sesuka hatinya. Adalah sungguh mengusik moral bila ada perusahaan yang
mengumumkan keberhasilannya membukukan laba triliunan rupiah namun membagikan
bonus kepada para pekerja sangat sedikit terlebih lagi dibedakan besaran
bonusnya jauh lebih besar kepada pekerja internalnya ketimbang pekerja
kontraknya (outsourcingnya).[1] Sejatinya jika
mau mengakui lebih jujur, teliti, dan cermat, persoalan keresahan tenagakerja
(buruh) adalah sistem pengupahan yang dirancang pemerintah tidak membedakan
status kepegawaian kontrak dan yang tetap. Mekanisme sistem pengupahan dan besarannya
“diserahkan” kepada masing-masing perusahaan. Jarang sekali mereka memperhitungkan masa kerja, jaminan sosial dan
perlindungan keselamatan kerja sangat normatif, terlebih lagi para pekerja di
sektor industri yang tidak terlalu menuntut pekerjanya berketrampilan tinggi. Kesewenang-wenangan
oknum pengusaha yang terkesan “luput” dari perhatian pemerintah juga merupakan
bagian dari persoalan perburuhan. Sementara itu buruh terlanjur
menganggap bahwa sebagai pekerja dengan status tetap merupakan dambaan. Perlu
diingat bahwa meskipun sebagai pekerja tetap dan tersedianya jenjang karir
masih akan menimbulkan gejolak perburuhan jika praktek ketidakadilan dan
“kesewenang-wenangan” pengusaha tetap ada di tengah lemahnya pengawasan dari
pemerintah. Serikat pekerjapun harus
memperkuat posisi tawarnya bukan hanya mengandalkan kekuatan massa tetapi juga
harus dibarengi dengan kekutatan analisa sebab akibat dengan demikian bisa
merumuskan tuntutan yang benar-benar jitu ke pemecahan akar permasalahannya
yaitu ketidakadilan sistem upah dan bagaimana mengatasi tingkat skill sets yang
masih rendah.
Harusnya
pemerintah bukan sekedar menetapkan besaran upah minimum yang setiap tahun cenderung
menimbulkan friksi pengusaha dan buruh, tetapi juga memformulasikan struktur upah
bagi pekerja yang berstatus kontrak, berdasarkan pengalaman kerja, berdasarkan
ketrampilan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pengusaha untuk
implementasinya di perusahaan masing-masing. Harapannya tenaga kontrak lebih tinggi upahnya dibanding
dengan upah pekerja tetap, tidak sekedar memenuhi upah minimum propinsi atau
upah minimum sektor industri tertentu, mengapa ? Karena para pekerja kontrak
tidak memiliki kepastian akan kelanjutan kontrak kerjanya, sedangkan pekerja
tetap memiliki sejumlah fasilitas tunjangan yang lebih baik ketimbang pekerja
kontrak. Jika sekiranya pengusaha merasa bahwa biaya pekerja kontrak lebih
mahal dibanding dengan pekerja permanen maka dengan sendirinya pengusaha akan
memilih status kepegawaian para pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja tetap.
Sedangkan bagi pekerja, ini merupakan pilihan apakah ingin diangkat sebagai
pekerja permanen ataukah ingin dengan status kontrak terus yang secara sesaat
terlihat upahnya lebih tinggi.
Kita belum menghiraukan bahwa negara kita sudah ketinggalan
dalam memanfaatkan momentum transformasi bisnis. Di negara lain seperti India, Filipina,
Cina, Vietnam, Amerika Lain dan Eropa Timur
sedang asyik menikmati devisa hasil dari transaksi impor pekerjaan. Kesempatan
mendatangkan pekerjaan dari negara negara maju yang berbasis pada model pemborongan
pekerjaan outsourcing bagi warga negaranya membuka kesempatan kerja dalam
negeri. Sehingga kita tidak perlu repot ekspor TKI dimana di beberapa negara
tujuan kerap kali dipermalukan. Moralitas
pengusaha harus disesuaikan, outsourcing bukan alat untuk mengurangi hak pekerja,
bukan pula media memperjualbelikan jasa buruh. Buruh harus dihargai, dipenuhi
haknya, dikembangkan potensinya sebagaimana
adanya bukan bagaimana sistem dan strategi perusahaan beroperasi.
Karena
praktek outsourcing merupakan pilihan strategi manajemen perusahaan maka
praktek outsourcing tidak bakal mati, outsourcing hanya berganti merek menjadi
Manajemen Bisnis Penunjang atau semisalnya, sementara pemerintah kedodoran
dalam pengawasannya maka yang bakal terjadi adalah ketidakpastian kesejahteraan para buruh, terganggunya
ketenangan operasional bisnis dan yang menderita akhirnya rakyat juga. Selama
aturan pengupahan tidak dirombak secara fundamental dan pelaksanaan aturan
kesejahteraan tenaga kerja tidak dikawal penerapanya dengan ketat maka isu
ketenagakerjaan tetap ada. Haruskah ini akan terus berlanjut dari tahun ke
tahun menguras energi anak bangsa? Semoga
masalah perburuhan tidak terus berkembang tanpa solusi yang mendasar.
Ditulis
kembali dari naskah 06 Juni 2013.
Referensi
:
1.
Kepmenakerstrans
No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa
Pekerja/Buruh.
2. Kepmenakertrans
No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
3. Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
4. Soesanto,
Slamet 2014, Strategi Manajemen Outsourcing – Buruh Sejahtera Pengusaha
Berjaya, Halaman Moeka – Jakarta.
[1] Soesanto, Slamet 2014, Strategi
Manajemen Outsourcing – Buruh Sejahtera Pengusaha Berjaya, Halaman Moeka –
Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar