Kamis, 03 Mei 2018


Buruh Menanti (Berakhirnya) Outsourcing

Slamet Soesanto

Tuntutan buruh untuk menolak praktek outsourcing melalui aksi demo yang masive beberapa waktu yang lalu telah membuahkan hasil. Usaha pemerintah memperketat praktek outsourcing merupakan “buah” dari tuntutan tersebut tercermin dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain resmi diberlakukan sejak Senin 19 November 2012. Seiring dengan diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138 Tahun 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.  Permenakertrans ini sekaligus mencabut dua keputusan menteri yang lain yakni Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Kepmenakerstrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kedua keputusan tersebut ditengarai sebagai salah satu sumber dari “hingar bingar” praktek outsourcing.

Secara umum, Permenakertrans No 19 ini memperketat keberadaaan perusahaan outsourcing mengubah pengaturan soal syarat dan tata-cara praktek outsoucing. Sebut saja soal syarat bentuk badan hukum perusahaan outsourcing harus PT. Permenakertrans ini juga melarang perusahaan pemborong pekerjaan yang tidak berbadan hukum.  Hal lain yang diatur dalam Permenakertrans No 19 ini adalah kewajiban mendaftarkan perjanjian pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa pekerja kepada instansi ketenagakerjaan setempat beserta sangsi hukum atas pelanggarannya. Ijin operasional perusahaan penyedia jasa pekerja di dalam Permenaker ini hanya untuk tiga tahun dan berlaku hanya di satu provinsi. Dicantumkannya perlindungan bagi pekerja outsourcing, misalnya jaminan  kelangsungan bekerja, jaminan perhitungan masa kerja, hak cuti, jaminan sosial, tunjangan hari raya, hingga hak mendapatkan ganti rugi bila diputuskan hubungan kerjanya oleh perusahaan outsourcing. 

Meskipun Permenakertran ini tidak secara total menghapus praktek outsourcing.  Namun terbitnya Permenakertran tersebut disambut dengan reaksi yang berbeda. Para buruh bersuka cita atas terbitnya Peraturan ini karena selama ini mereka menganggap outsourcing  seperti perbudakan modern. Berbeda halnya dengan respon pengusaha perusahaan outsourcing  yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia  maupun pengguna  outsourcing­ yang tergabung dalam Asosisai Pengusaha Indonesia serta Kamar Dagang dan Industri Indonesia atas terbitnya peraturan ini. Mereka melakukan perlawanan atas terbitnya permenakertrans tersebut dengan mendaftarakan uji materi ke Mahkamah Agung dan telah diregister dengan Nomor 13P/HUM/Th.2013 tanggal 18 Februari 2013.

Kerja kontrak tetap berlangsung
Apapun hasil akhir dari upaya para pengusaha mendaftarkan uji materi ke MA bukan jaminan bahwa kerja dengan mekanisme outsourcing ataupun sistem kontrak akan hilang  dan bukan pula pekerja otomatis akan sejahtera. Memang ruang gerak praktek perusahaan jasa penempatan tenaga kerja semakin sempit, namun dengan berganti “baju” perusahaan tersebut masih bisa leluasa melakukan praktek outsourcing. Tanpa melanggar peraturan formal yang ada, melalui sistem pemborongan pekerjaan, perusahaan outsourcing akan beroperasi berdasarkan kontrak kerja yang sudah tertentu nilai rupiah dan jangka waktu pengerjaannya. Perusahaan outsourcing akan mencari tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan kualifikasi borongan pekerjaan yang diterimanya. Mereka kemungkinan besar akan merekut pekerja dengan sistem non permanen dengan masa kontrak maksimal sesuai dengan jangka waktu nilai kontrak pekerjaan borongannya. Dan ini akan terus belangsung untuk seluruh jenis pekerjaan yang diborongkan di segala sektor industri. Jika kontrak borongan pekerjaan selesai maka selesai pula kontrak kerja pekerjanya. Status pekerja akan selalu sebagai pekerja kontrak sepanjang tahun sepanjang masa. Isu ketenagakerjaan hanya beralih dari perusahaan pengguna jasa outsourcing ke perusahaan pemborongan pekerjaan yang jumlahnya dari waktu ke waktu akan semakin banyak. Dan semakin sulit untuk dikontrol mengingat jumlah pengawas ketenagakerjaan yang terbatas dengan sebaran wilayah dan jenis industri yang sangat beragram. Akibatnya kesejahteraan para buruh akan tetap sama sebagaimana sebelumnya dan penderitaannya tak kunjung berakhir. Dan  peristiwa akan selalu berulang, demo buruh, mogok kerja, turun ke jalan.

Bukan Sekedar Status dan Upah Minimum
Pentingnya moralitas pengusaha dalam menjalankan strategi bisnis, pengusaha jangan hanya memikirkan cara akumulasi keuntungan meningkat dari tahun ke tahun.  Sementara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan “dikendalikan” sedemikian rupa seakan-akan pekerja bisa diganti kapan saja sesuka hatinya. Adalah sungguh mengusik moral bila ada perusahaan yang mengumumkan keberhasilannya membukukan laba triliunan rupiah namun membagikan bonus kepada para pekerja sangat sedikit terlebih lagi dibedakan besaran bonusnya jauh lebih besar kepada pekerja internalnya ketimbang pekerja kontraknya (outsourcingnya).[1]  Sejatinya jika mau mengakui lebih jujur, teliti, dan cermat, persoalan keresahan tenagakerja (buruh) adalah sistem pengupahan yang dirancang pemerintah tidak membedakan status kepegawaian kontrak dan yang tetap. Mekanisme sistem pengupahan dan besarannya “diserahkan” kepada masing-masing perusahaan. Jarang sekali mereka  memperhitungkan masa kerja, jaminan sosial dan perlindungan keselamatan kerja sangat normatif, terlebih lagi para pekerja di sektor industri yang tidak terlalu menuntut pekerjanya berketrampilan tinggi. Kesewenang-wenangan oknum pengusaha yang terkesan “luput” dari perhatian pemerintah juga merupakan bagian dari persoalan perburuhan. Sementara itu buruh terlanjur menganggap bahwa sebagai pekerja dengan status tetap merupakan dambaan. Perlu diingat bahwa meskipun sebagai pekerja tetap dan tersedianya jenjang karir masih akan menimbulkan gejolak perburuhan jika praktek ketidakadilan dan “kesewenang-wenangan” pengusaha tetap ada di tengah lemahnya pengawasan dari pemerintah.  Serikat pekerjapun harus memperkuat posisi tawarnya bukan hanya mengandalkan kekuatan massa tetapi juga harus dibarengi dengan kekutatan analisa sebab akibat dengan demikian bisa merumuskan tuntutan yang benar-benar jitu ke pemecahan akar permasalahannya yaitu ketidakadilan sistem upah dan bagaimana mengatasi tingkat skill sets yang masih rendah.

Harusnya pemerintah bukan sekedar menetapkan besaran upah minimum yang setiap tahun cenderung menimbulkan friksi pengusaha dan buruh, tetapi juga memformulasikan struktur upah bagi pekerja yang berstatus kontrak, berdasarkan pengalaman kerja, berdasarkan ketrampilan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pengusaha untuk implementasinya di perusahaan masing-masing. Harapannya  tenaga kontrak lebih tinggi upahnya dibanding dengan upah pekerja tetap, tidak sekedar memenuhi upah minimum propinsi atau upah minimum sektor industri tertentu, mengapa ? Karena para pekerja kontrak tidak memiliki kepastian akan kelanjutan kontrak kerjanya, sedangkan pekerja tetap memiliki sejumlah fasilitas tunjangan yang lebih baik ketimbang pekerja kontrak. Jika sekiranya pengusaha merasa bahwa biaya pekerja kontrak lebih mahal dibanding dengan pekerja permanen maka dengan sendirinya pengusaha akan memilih status kepegawaian para pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja tetap. Sedangkan bagi pekerja, ini merupakan pilihan apakah ingin diangkat sebagai pekerja permanen ataukah ingin dengan status kontrak terus yang secara sesaat terlihat upahnya lebih tinggi.

Kita belum menghiraukan bahwa negara kita sudah ketinggalan dalam memanfaatkan momentum transformasi bisnis. Di negara lain seperti India, Filipina, Cina, Vietnam, Amerika Lain dan Eropa Timur  sedang asyik menikmati devisa hasil dari transaksi impor pekerjaan. Kesempatan mendatangkan pekerjaan dari negara negara maju yang berbasis pada model pemborongan pekerjaan outsourcing bagi warga negaranya membuka kesempatan kerja dalam negeri. Sehingga kita tidak perlu repot ekspor TKI dimana di beberapa negara tujuan kerap kali dipermalukan.  Moralitas pengusaha harus disesuaikan, outsourcing bukan alat untuk mengurangi hak pekerja, bukan pula media memperjualbelikan jasa buruh. Buruh harus dihargai, dipenuhi haknya, dikembangkan potensinya  sebagaimana adanya bukan bagaimana sistem dan strategi perusahaan beroperasi. 

Karena praktek outsourcing merupakan pilihan strategi manajemen perusahaan maka praktek outsourcing tidak bakal mati, outsourcing hanya berganti merek menjadi Manajemen Bisnis Penunjang atau semisalnya, sementara pemerintah kedodoran dalam pengawasannya maka yang bakal terjadi adalah ketidakpastian  kesejahteraan para buruh, terganggunya ketenangan operasional bisnis dan yang menderita akhirnya rakyat juga. Selama aturan pengupahan tidak dirombak secara fundamental dan pelaksanaan aturan kesejahteraan tenaga kerja tidak dikawal penerapanya dengan ketat maka isu ketenagakerjaan tetap ada. Haruskah ini akan terus berlanjut dari tahun ke tahun menguras energi anak bangsa? Semoga masalah perburuhan tidak terus berkembang tanpa solusi yang mendasar.

Ditulis kembali dari naskah 06 Juni 2013.

Referensi :

1.      Kepmenakerstrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh.
2.  Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
3.  Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.
4.   Soesanto, Slamet 2014, Strategi Manajemen Outsourcing – Buruh Sejahtera Pengusaha Berjaya, Halaman Moeka – Jakarta.



[1] Soesanto, Slamet 2014, Strategi Manajemen Outsourcing – Buruh Sejahtera Pengusaha Berjaya, Halaman Moeka – Jakarta.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar