Mayday is not holiday Sir !
Mayday ! Mayday ! Mayday ! sinyal tanda
bahaya mengancam jiwa. Prosedur darurat permintaan bantuan ini, konon pada
awalnya digunakan secara internasional dalam komunikasi radio oleh pelaut maupun
penerbang. Kini mayday menjadi momen penting bagi buruh di seluruh dunia untuk
angkat bicara menyuarakan tuntutan. Tahun
kemarin ada sepuluh tuntutan, tahun ini ada sepuluh tuntutan, tahun depan entah
berapa dan apa lagi tuntutannya. Tanggal 1 Mei oleh pemerintah ditetapkan
sebagai hari buruh dan oleh karenanya menjadi hari libur nasional.
Darurat
ketenagakerjaan sesungguhnya telah terjadi bertahun-tahun, mencuat menjadi: isu
tenaga kerja anak, isu upah, isu deportasi TKI, TKW teraniaya, status kontrak,
isu praktek outsourcing. Isu-isu tersebut merupakan puncak gunung es
dari isu besar; kemiskinan, tidakmeratanya kesejahteraan, lemahnya pelaksanaan
pengawasan praktek ketenagakerjaan.
Teriakan
buruh menolak praktek outsourcing melalui
aksi demo yang masive tahun-tahun lalu
telah membuahkan hasil. Buah dari tuntutan itu tercermin dalam Permenakertrans
No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan
Pekerjaan kepada Perusahaan Lain resmi diberlakukan sejak Senin 19 November
2012. Seiring dengan diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138
Tahun 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM. Permenakertrans ini sekaligus mencabut dua keputusan
menteri yang lain yakni Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat
Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan
Kepmenakerstrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan
Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kedua keputusan tersebut ditengarai sebagai salah
satu sumber dari “hingar bingar” praktek outsourcing.
Intinya adalah Pemerintah saat ini memperketat praktek outsourcing.
Meskipun
permenakertran ini tidak secara total menghapus praktek outsourcing. Namun terbitnya
permenakertran tersebut disambut dengan reaksi berbeda. Para buruh bersuka cita
atas terbitnya peraturan ini karena selama ini mereka menganggap outsourcing seperti perbudakan modern. Namun
respon yang berbeda datang dari para pengusaha outsourcing yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih
Daya Indonesia maupun pengguna outsourcing yang tergabung dalam
APINDO serta KADIN atas terbitnya peraturan ini. Mereka melakukan perlawanan
atas terbitnya permenakertrans tersebut dengan mendaftarakan uji materi ke
Mahkamah Agung dan telah diregister dengan Nomor 13P/HUM/Th.2013 tanggal 18
Februari 2013.
Kerja kontrak tetap berlangsung
Apapun
hasil akhir dari upaya para pengusaha mendaftarkan uji materi ke MA bukan
jaminan bahwa kerja dengan mekanisme outsourcing
ataupun sistem kontrak bakal lenyap dan
bukan pula pekerja otomatis akan sejahtera. Memang ruang gerak praktek perusahaan
jasa penempatan tenaga kerja semakin sempit, namun dengan berganti “baju”
perusahaan tersebut masih bisa leluasa melakukan praktek outsourcing. Tanpa melanggar peraturan formal yang ada, yakni melalui
sistem pemborongan pekerjaan. Perusahaan
outsourcing akan beroperasi
berdasarkan kontrak bisnis yang sudah tertentu nilai rupiah dan jangka waktu
pengerjaannya. Kemudian perusahaan outsourcing
akan mencari tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan kualifikasi borongan
pekerjaan yang diterimanya. Mereka kemungkinan besar akan merekut pekerja dengan
sistem non permanen menyesuaikan masa kontrak bisnis pekerjaan borongannya. Dan
ini akan terus belangsung untuk semua jenis pekerjaan yang diborongkan di
segala sektor industri. Jika kontrak
borongan pekerjaan selesai maka selesai pula kontrak kerja pekerjanya. Status
pekerja akan selalu sebagai pekerja kontrak sepanjang tahun sepanjang masa,
meskipun ada kemungkinan pendapatannya lebih
besar dari pendapatan tahun sebelumnya. Isu status kontrak hanya beralih dari
perusahaan pengguna outsourcing ke perusahaan
pemborong pekerjaan yang jumlahnya dari waktu ke waktu akan semakin banyak. Dan
semakin sulit untuk dikontrol mengingat jumlah pengawas ketenagakerjaan yang
terbatas dengan sebaran wilayah dan jenis industri yang sangat beragram. Akibatnya
kesejahteraan para buruh akan tetap sulit untuk dilindungi dan penderitaannya
tak kunjung berakhir. Mayday pun akan
selalu berulang, demo buruh, mogok kerja, turun ke jalan.
Bukan Sekedar Status
dan Upah Minimum
Pentingnya
sensitifitas moral pengusaha dalam menjalankan strategi bisnis. Pengusaha diharap
tidak hanya memikirkan cara akumulasi keuntungan terus meningkat dari tahun ke
tahun. Sementara biaya tenaga kerja yang
dikeluarkan “dikendalikan” sedemikian rupa dimana pekerja bisa diganti kapan
saja bila tidak sesuai kriteria. Adalah sungguh mengusik moral bila ada
perusahaan yang mengumumkan keberhasilannya membukukan laba triliunan rupiah
namun membagikan bonus kepada para pekerja sangat sedikit terlebih lagi membedakan
besaran bonusnya jauh lebih besar kepada pekerja internalnya ketimbang pekerja
kontraknya (outsourcing-nya). Sejatinya jika mau mengakui lebih jujur,
teliti, dan cermat, pangkal persoalan keresahan tenaga kerja (buruh) adalah pengupahan dan skill sets.
Mekanisme sistem pengupahan dan besarannya “diserahkan” kepada masing-masing
perusahaan. Jarang sekali mereka memperhitungkan masa kerja, pemberian jaminan
sosial dan perlindungan keselamatan kerja sangat normatif, terlebih lagi para
pekerja di sektor industri yang tidak terlalu menuntut pekerjanya
berketrampilan tinggi. Kesewenang-wenangan oknum pengusaha yang terkesan “luput”
dari perhatian pemerintah juga merupakan bagian dari persoalan perburuhan. Sementara
itu buruh terlanjur menganggap bahwa sebagai pekerja dengan status tetap merupakan
cita-cita. Perlu diingat bahwa meskipun sebagai pekerja tetap dan tersedianya
jenjang karir masih akan menimbulkan gejolak perburuhan jika praktek pengupahan
dan “kesewenang-wenangan” tetap ada di tengah lemahnya pengawasan di lapangan. Serikat pekerjapun harus memperkuat posisi
tawarnya bukan hanya mengandalkan kekuatan massa tetapi juga harus dibarengi
dengan kekutatan analisa sebab akibat mengapa upah buruh sebesar itu. Sehingga dengan demikian bisa merumuskan tuntutan yang
benar-benar jitu ke pemecahan akar permasalahannya seperti bagaimana mengatasi
tingkat skill sets yang masih belum
meyakinkan pengusaha. Harusnya
pemerintah bukan sekedar menetapkan besaran upah minimum yang setiap tahun cenderung
menimbulkan friksi pengusaha dan buruh, tetapi juga memformulasikan struktur upah
bagi pekerja yang berstatus kontrak, berdasarkan pengalaman kerja, berdasarkan
ketrampilan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pengusaha untuk
implementasinya di perusahaan masing-masing. Harapannya tenaga kontrak lebih tinggi upahnya dibanding
dengan upah pekerja tetap, tidak sekedar memenuhi upah minimum propinsi atau
upah minimum sektor industri tertentu, mengapa ? Karena para pekerja kontrak
tidak memiliki kepastian akan kelanjutan kontrak kerjanya, sedangkan pekerja
tetap memiliki sejumlah fasilitas tunjangan yang lebih baik ketimbang pekerja
kontrak. Jika sekiranya pengusaha merasa bahwa biaya pekerja kontrak lebih
mahal dibanding dengan pekerja permanen maka dengan sendirinya pengusaha akan
memilih status para pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja tetap. Sedangkan
bagi pekerja, ini merupakan pilihan apakah ingin diangkat sebagai pekerja permanen
ataukah ingin dengan status kontrak terus yang secara kasat mata terlihat
upahnya lebih tinggi.
Kita
belum juga hirau bahwa negara kita sudah tertinggal dalam memanfaatkan momentum
transformasi bisnis. Di negara lain seperti India, Filipina, Cina, Vietnam,
Amerika Lain dan Eropa Timur sedang
asyik menikmati devisa hasil dari transaksi impor pekerjaan. Kesempatan
mendatangkan pekerjaan dari negara negara maju yang berbasis pada model
pemborongan pekerjaan outsourcing bagi
warga negaranya membuka kesempatan kerja dalam negeri. Sehingga kita tidak
perlu repot ekspor TKI dimana di beberapa negara tujuan kerap kali dipermalukan. Moralitas pengusaha harus disesuaikan, outsourcing bukan alat untuk mengurangi
hak pekerja, bukan pula media memperjualbelikan jasa buruh. Buruh harus dihargai, dipenuhi haknya,
dikembangkan potensinya sebagaimana
adanya dan bukan porsi buruh untuk menghakimi pilihan perusahaan dalam
menggunakan sistem dan strategi beroperasi.
Karena
praktek outsourcing merupakan pilihan
strategi manajemen perusahaan maka praktek outsourcing
tidak bakal mati, outsourcing hanya
berganti merek menjadi Manajemen Bisnis Penunjang atau semisalnya, sementara pemerintah
kedodoran dalam pengawasannya maka yang bakal terjadi adalah
ketidakpastian kesejahteraan para buruh,
terganggunya ketenangan operasional bisnis dan yang menderita akhirnya pengusaha
dan buruh juga.
Selama
pengupahan tidak dirombak secara fundamental dan pelaksanaan aturan
kesejahteraan tenaga kerja tidak dikawal penerapanya dengan ketat maka isu
ketenagakerjaan tetap ada. Haruskah ini berlanjut terus dari tahun ke tahun
menguras energi anak bangsa ? yang mestinya buruh bisa menikmati mayday sebagai
hari libur namun yang terjadi justru sebaliknya...... so sorry, the mayday is still not holiday, Sir ! (ss)