Jumat, 16 Mei 2014

Menjaga Jaring Laba-Laba

Menjaga Jaring Laba-Laba *


Teringatlah kita pada jaring laba-laba: lembut, sensitif tetapi kuat bisa jadi merupakan struktur alam “buatan” hewan yang paling cantik dan ekstra ruwet rangkaiannya. Laba-laba membangunnya selangkah demi selangkah sebagai bagian perlindungan diri dari predator sekaligus sebagai alat perangkap mangsa.  Jika diperhatikan dengan seksama laba-laba merangkai jaringnya, tertata apik dengan pola konfigurari yang kompleks, dan berestetika. Membuktikan bahwa sang Maha Pencipta laba-laba adalah desainer alam terbaik di jagad raya.  Ketika salah satu bagian dari jaringnya tersentuh oleh sesuatu, laba-laba segera mendekat menghampiri sumber getaran, dimikianlah semisal seharusnya empati itu ada dalam diri manusia

Peristiwa demi peristiwa bukanlah sesuatu yang boleh dianggap sebagai rutinitas biasa. Mari kita perhatikan lingkungan mulai dari lingkungan terkecil kita yaitu orang-orang yang setiap hari kita temui: rekan kerja, suami, istri, anak, saudara, tetangga, atau orang tua kita. Setiap orang memiliki kepekaan yang berbeda terhadap fenomena sosial yang ada di sekitarnya. Bagi kita yang memiliki kepekaan empati seperti jaring laba-laba maka sentuhan halus dari lingkungan sekeliling kita segera akan membangkitkan respon bagi kita untuk bertindak.  Tanpa kita sadari, setiap manusia mengirimkan gelombang elektromagnetik dan energi panas ke lingkungannya. Gelombang magnetik ini menimbulkan vibrasi yang akan menggetarkan jaring-jaring empati manusia lainnya, sehingga antar manusia akan terjadi peristiwa yang saling menggetarkan. Seberapa besar daya tangkap diri manusia terhadap vibrasi dari manusia lainnya sangat tergantung dengan “status” perasaannya. Melalui pengolahan jiwa terus-menerus seseorang bisa mengenal ‘status’ perasaannya sendiri, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan emosinya untuk kebaikan kehidupan sosial di lingkukan kerja setiap hari.

Belajar merasakan sama pentingnya dengan belajar bertindak. Berempati merupakan proses pikir dan proses rasa yang secara utuh terlibat di dalam diri seseorang. Di dalam empati terkandung dua sisi, yaitu sisi aktif sebagai upaya “masuk” ke dalam orang lain dan sisi pasif merupakan refleksi atau penilaian orang lain atas diri kita. Hidup di lingkungan kerja berarti harus siap terus menerus menghadapi situasi yang dilematis yang melibatkan logika dan perasaan sendiri berhadapan dengan logika kolektif perusahaan manakala suatu persolan harus dipecahkan. Disinilah pintu masuk timbulnya segala macam resiko perbedaan kesimpulan, rasa, bahkan kemungkinan berujung pada konflik. Karena pada dasarnya manusia secara individu sangat ingin melindungi minat dan kepentingannya.

Layaknya jaring laba-laba, meskipun benang-benang halus empati setiap orang berbeda, tidak usah menunggu sampai jaring-jaring terkoyak, namun justru sebaliknya, orang yang memiliki kepekaan empati baru tersentuh sedikit saja dapat segera tersadar akan kejadian di sekitarnya.  Jika seseorang semakin jujur dengan apa yang dirasakan maka akan semakin terbuka jalan yang dicari karena semakin mengetahui passion nya sendiri.

Di dunia kerja setiap orang memiliki difinisi sukses berkarir sendiri-sendiri. Penetapan sukses tanpa empati merupakan pilihan terburuk dalam menjalani profesi. Kerja keras pasti akan membawa hasil baik, akan tetapi hasil baik yang diraih tanpa empati hanya bermanfaat untuk diri sendiri, tidak akan meninggalkan bekas yang berarti, kemudian pada saatnya akan menguap sirna entah kemana pergi... (ss)


* Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2012-09

Selasa, 13 Mei 2014

People Development

People Development *

Saudara sekalian, ketika kita hendak pergi bekerja kita selalu berdandan, merapikan diri yang demikian karena kita ingin dilihat orang lain seperti apa kita hari ini dan ini berlangsung setiap hari sepanjang waktu. Banyak lagi contoh aktifitas sejenis lainnya dimana disadari atau tidak kita telah melakukan usaha-usaha “memperbaiki” diri.  Dengan scope yang lebih luas maka akan mudah dimengerti  bahwa  upaya “memperbaiki” dan memajukan diri melalui pendidikan formal dan pelatihan, kemudian memobilisasinya dalam rangka mencapai hasil yang diinginkan tidak lain adalah masuk dalam pengertian people development.  

Saudara sekalian, dari sisi karyawan, people development berarti bertambahnya skill dan pengetahuan dan erat sekali dengan rencana karir di waktu mendatang dan seringkali berimplikasi pada income.  Sedangkan dari kacamata supervisor people development berarti mengembangkan anak buah, secara terstruktur dan terencana memastikan bahwa setiap orang faham apa yang dilakukan oleh organisasi selanjutnya akan diwujudkan dalam bentuk pendelegasian tugas dan tanggung jawab untuk memotivasi mereka menuju jenjang yang lebih tinggi atau wewenang yang lebih luas.

Saudara sekalian, memahami pengertian di atas maka dapatlah disimpulkan bahwa diri sendiri kitalah yang paling berperan di dalam people development apapun jabatan dan posisi kerja saat ini. Kita bisa mulai dari  pertanyaan seperti, Apakah saya tahu bagaimana performa pekerjaan saya ? Apakah saya tahu kontribusi saya dan apa hasil yang diharapkan ? Apa yg dilakukan oleh teman-teman kantor saya ? Apakah saya mempercayai orang-orang yg bekerja dengan saya ? Apakah saya tahu kelebihan mereka ?  Apakah saya tahu kelemahan saya dibanding dengan teman-teman saya ? Dari jawaban tersebut kita memperoleh potret diri dalam bingkai organisasi perusahaan, selanjutnya bisa disusun rencana program pengembangannya.  Biasakan diri kita untuk melakukan exercise segala pencapaian yang kita peroleh pada saat ini agar semakin sadar dimana posisi kita dan kita akan selalu maju dibanding dengan yang lainnya.

Saudara sekalian, seberapa besar usaha anda untuk berkembang, waktu adalah aset yang paling berharga, dan income anda berhubungan langsung dengan bagaimana anda menggunakan waktu anda.  Keuntungan atau pun kerugian manusia banyak ditentukan oleh sikapnya terhadap waktu. Semakin besar usaha anda untuk mengembangkan diri semakin terbuka luas jalan meniti jenjang karir profesional anda tanpa ada yang mampu membatasinya.  
It's easy if you try, above us only sky. (ss)

*Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2010-04

Jumat, 09 Mei 2014

Mei 1988 - Catatan ku

Mei 1988 – Catatan ku

Pagi ini saya menemukan buku kecil agenda kerja saya terselip diantara arsip-arsip lama, lembar demi lembar saya buka catatan-catatan saya di buku itu. Ada dua rangkaian tulisan, yang pertama adalah tulisan yang mengingatkan saya bagaimana pikiran dan perasaan saya pada hari Selasa 5 Mei 1988 satu minggu sebelum tragedi penembakan empat orang mahasiswa Trisakti meninggal dunia, memicu kerusuhan yang meluas menjadi amuk massa, pembakaran, penjarahan, pemerkosaan, penangkapan dan penculikan aktivis.    Hari hari ketika itu suasana lingkungan terasa pengap, ada rasa was-was setiap saat akan pergi ke tempat kerja. Pemutusan hubungan kerja telah terjadi, jumlah penganggur semakin banyak, harga barang kebutuhan pokok merangkak naik, nilai rupiah makin hari makin meluncur ke bawah, para birokrat mengobral retorika, perasaan tidak percaya pada pemerintah semakin memuncak,  suara-suara bernada iri hati, dengki pada orang kaya merebak terdengar dari mulut orang di terminal, stasiun, angkot, warung,  bahkan di kantor-kantor, para buruh turun ke jalan,  Berikut ini catatannya:

hari-hari ku berlalu
galau, risau, kacau, teraduk-aduk
geram, harap, nyata makin terpuruk

sulit kumengerti
mana siksa, mana coba
mala, bencana, bertubi-tubi
menyerang, menerjang, silih berganti
menyayat harkat, martabat rakyat negeri
kian tak percaya pada penguasa

si fakir terjungkir-jungkir
si miskin pasrah menatap angin
si papa merana
hari ini siapa derma

korban-korban pehaka
tak tahu kapan bisa berkarya
tukang-tukang rente memutar otak
seperti penerbang kehilangan kontak
penguasa asyik bermain-main kata
saling menutupi bau busuk kreasinya

langit negeriku semakin kelabu
mendung selalu setiap waktu
pudar bayang-bayang rembulan
tak satupun bintang di awan
yang dulu selalu menjadi teman

hari-hari ku berlalu
galau, risau, kacau teraduk-aduk
geram, harap, nyata makin terpuruk

Wani Piro

Wani Piro* 

Wani Piro adalah gabungan dua kata bahasa Jawa yang multi arti, tergantung bagaimana intonasi dan ekspresi orang yang mengucapkannya. Ketika kata-kata tersebut diucapkan dengan intonasi tinggi akan terkesan menantang dan provokatif. Sebaliknya jika diucapkan dengan nada satire dan sambil lalu akan terkesan mengecilkan kemampuan lawan bicara namun tidak membuat lawan bicara marah atau tersinggung karena tidak perlu untuk diladeni. Ungkapan ini seakan mewakili iklim kondisi masyarakat kita yang tiap hari dijejali dengan hawa konsumerisme dan surga bagi mereka yang memiliki daya beli yang berlebih yang berarti memiliki pula posisi tawar yang tinggi.


Orang akan bertindak jika ada imbalannya berapa yang saya dapat untuk mengerjakan hal seperti itu. Maka bisa dipastikan bahwa esensi semangat tolong menolong akan semakin terpinggirkan dan menjadi barang usang yang tidak perlu lagi dipraktekkan. Wani Piro menjunjung tinggi asas untung rugi. Oleh karenanya, di dalam konsep Wani Piro, jangan bertanya tentang pengorbanan karena pengorbanan tidak memiliki tempat di sana. Pengorbanan terkandung nilai heroik, kepeloporan dan tidak mengharap imbalan dari manusia. Anda tentu masih ingat prinsip ekonomi kapitalis dengan modal tertentu mengharap keuntungan yang maksimal. Berapa besar yang aku berikan tergantung berapa besar yang aku terima. Aku akan memberi kalau aku menerima lebih dulu. Demikianlah matematika manusia, logis di era yang kompetitif. Manusia berlomba-lomba menciptakan sistem yang paling efisien. Ketika bicara efisien yang langsung terekam di otak kita adalah perbandingan pengeluaran dan pendapatan. Jikalau pendapatan tidak seberapa dibanding dengan pengeluaran dikatakan tidak efisien. Apalagi jika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran pasti dibilang rugi. Lantas bagi mereka yang tidak memiliki resources, bagaimana akan memperoleh bantuan? dari mana dan dari siapa?

Selama ini kita selalu membandingkan segala hal, antara yang kita dapatkan dengan yang kita berikan.  Kita selalu berharap mendapatkan lebih dengan pengorbanan seminim mungkin.  Bahkan sebagai seorang karyawan kita selalu menuntut hak yang lebih dan cenderung tidak mau mengerti, dimana jika mendapatkan banyak tanggung jawab dan pekerjaan, kita mulai memperhitungkan antara gaji dan tanggung jawab yang kita pikul.  Bahkan sebagian karyawan bisa saja mulai mengeluh membandingkan kepada rekannya yang lain. Demikianlah kita yang selalu menggunakan logika standar matematika manusia. Anjuran untuk berkorban disikapi dengan dingin, kawatir akan hilang sumberdaya yang dimilikinya. Mana mungkin orang memberi malah bertambah hartanya ? Logika manusia tidak akan sampai ke sana. Tetapi Tuhan maha kuasa memiliki cara sendiri untuk mencukupkan keperluan manusia dan memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ya ... memang demikianlah banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dilogikakan. Untuk berkorban tidak memerlukan logika untung rugi. Maka ketika sebagai karyawan maukah kita berkorban bersungguh-sungguh bekerja lebih dari yang kita terima dengan penuh hati ikhlas dan bahagia ? Sedangkan di sisi lain ketika sebagai pengusaha atau manajemen perusahaan maukah kita meningkatkan perhatian dan siap untuk lebih berbagi keuntungan kepada karyawan.  Harusnya “YA”  Sehingga pertanyaannya tidak lagi Wani Piro tetapi Wani Korban Piro - seberapa besar berani berkorban. (ss)

* Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2012-10

Kamis, 01 Mei 2014

Mayday is not holiday Sir !

Mayday is not holiday Sir !

Mayday ! Mayday ! Mayday ! sinyal tanda bahaya mengancam jiwa. Prosedur darurat permintaan bantuan ini, konon pada awalnya digunakan secara internasional dalam komunikasi radio oleh pelaut maupun penerbang. Kini mayday menjadi momen penting bagi buruh di seluruh dunia untuk angkat bicara menyuarakan tuntutan.  Tahun kemarin ada sepuluh tuntutan, tahun ini ada sepuluh tuntutan, tahun depan entah berapa dan apa lagi tuntutannya. Tanggal 1 Mei oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari buruh dan oleh karenanya menjadi hari libur nasional.

Darurat ketenagakerjaan sesungguhnya telah terjadi bertahun-tahun, mencuat menjadi: isu tenaga kerja anak, isu upah, isu deportasi TKI, TKW teraniaya, status kontrak, isu praktek outsourcing.  Isu-isu tersebut merupakan puncak gunung es dari isu besar; kemiskinan, tidakmeratanya kesejahteraan, lemahnya pelaksanaan pengawasan praktek ketenagakerjaan.

Teriakan buruh menolak praktek outsourcing melalui aksi demo yang masive tahun-tahun lalu telah membuahkan hasil. Buah dari tuntutan itu tercermin dalam Permenakertrans No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain resmi diberlakukan sejak Senin 19 November 2012. Seiring dengan diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138 Tahun 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.  Permenakertrans ini sekaligus mencabut dua keputusan menteri yang lain yakni Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Kepmenakerstrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kedua keputusan tersebut ditengarai sebagai salah satu sumber dari “hingar bingar” praktek outsourcing. Intinya adalah Pemerintah saat ini memperketat praktek outsourcing.

Meskipun permenakertran ini tidak secara total menghapus praktek outsourcing.  Namun terbitnya permenakertran tersebut disambut dengan reaksi berbeda. Para buruh bersuka cita atas terbitnya peraturan ini karena selama ini mereka menganggap outsourcing  seperti perbudakan modern. Namun respon yang berbeda datang dari para pengusaha outsourcing  yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia  maupun pengguna  outsourcing­ yang tergabung dalam APINDO serta KADIN atas terbitnya peraturan ini. Mereka melakukan perlawanan atas terbitnya permenakertrans tersebut dengan mendaftarakan uji materi ke Mahkamah Agung dan telah diregister dengan Nomor 13P/HUM/Th.2013 tanggal 18 Februari 2013.

Kerja kontrak tetap berlangsung
Apapun hasil akhir dari upaya para pengusaha mendaftarkan uji materi ke MA bukan jaminan bahwa kerja dengan mekanisme outsourcing ataupun sistem kontrak bakal lenyap  dan bukan pula pekerja otomatis akan sejahtera. Memang ruang gerak praktek perusahaan jasa penempatan tenaga kerja semakin sempit, namun dengan berganti “baju” perusahaan tersebut masih bisa leluasa melakukan praktek outsourcing. Tanpa melanggar peraturan formal yang ada, yakni melalui sistem pemborongan pekerjaan.  Perusahaan outsourcing akan beroperasi berdasarkan kontrak bisnis yang sudah tertentu nilai rupiah dan jangka waktu pengerjaannya. Kemudian perusahaan outsourcing akan mencari tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan kualifikasi borongan pekerjaan yang diterimanya. Mereka kemungkinan besar akan merekut pekerja dengan sistem non permanen menyesuaikan masa kontrak bisnis pekerjaan borongannya. Dan ini akan terus belangsung untuk semua jenis pekerjaan yang diborongkan di segala sektor industri.  Jika kontrak borongan pekerjaan selesai maka selesai pula kontrak kerja pekerjanya. Status pekerja akan selalu sebagai pekerja kontrak sepanjang tahun sepanjang masa, meskipun ada kemungkinan pendapatannya lebih besar dari pendapatan tahun sebelumnya. Isu status kontrak hanya beralih dari perusahaan pengguna outsourcing ke perusahaan pemborong pekerjaan yang jumlahnya dari waktu ke waktu akan semakin banyak. Dan semakin sulit untuk dikontrol mengingat jumlah pengawas ketenagakerjaan yang terbatas dengan sebaran wilayah dan jenis industri yang sangat beragram. Akibatnya kesejahteraan para buruh akan tetap sulit untuk dilindungi dan penderitaannya tak kunjung berakhir. Mayday pun  akan selalu berulang, demo buruh, mogok kerja, turun ke jalan.

Bukan Sekedar Status dan Upah Minimum
Pentingnya sensitifitas moral pengusaha dalam menjalankan strategi bisnis. Pengusaha diharap tidak hanya memikirkan cara akumulasi keuntungan terus meningkat dari tahun ke tahun.  Sementara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan “dikendalikan” sedemikian rupa dimana pekerja bisa diganti kapan saja bila tidak sesuai kriteria. Adalah sungguh mengusik moral bila ada perusahaan yang mengumumkan keberhasilannya membukukan laba triliunan rupiah namun membagikan bonus kepada para pekerja sangat sedikit terlebih lagi membedakan besaran bonusnya jauh lebih besar kepada pekerja internalnya ketimbang pekerja kontraknya (outsourcing-nya).  Sejatinya jika mau mengakui lebih jujur, teliti, dan cermat, pangkal persoalan keresahan tenaga kerja (buruh) adalah pengupahan dan skill sets. Mekanisme sistem pengupahan dan besarannya “diserahkan” kepada masing-masing perusahaan. Jarang sekali mereka  memperhitungkan masa kerja, pemberian jaminan sosial dan perlindungan keselamatan kerja sangat normatif, terlebih lagi para pekerja di sektor industri yang tidak terlalu menuntut pekerjanya berketrampilan tinggi. Kesewenang-wenangan oknum pengusaha yang terkesan “luput” dari perhatian pemerintah juga merupakan bagian dari persoalan perburuhan. Sementara itu buruh terlanjur menganggap bahwa sebagai pekerja dengan status tetap merupakan cita-cita. Perlu diingat bahwa meskipun sebagai pekerja tetap dan tersedianya jenjang karir masih akan menimbulkan gejolak perburuhan jika praktek pengupahan dan “kesewenang-wenangan” tetap ada di tengah lemahnya pengawasan di lapangan.  Serikat pekerjapun harus memperkuat posisi tawarnya bukan hanya mengandalkan kekuatan massa tetapi juga harus dibarengi dengan kekutatan analisa sebab akibat mengapa upah buruh sebesar itu. Sehingga  dengan demikian bisa merumuskan tuntutan yang benar-benar jitu ke pemecahan akar permasalahannya seperti bagaimana mengatasi tingkat skill sets yang masih belum meyakinkan pengusaha.  Harusnya pemerintah bukan sekedar menetapkan besaran upah minimum yang setiap tahun cenderung menimbulkan friksi pengusaha dan buruh, tetapi juga memformulasikan struktur upah bagi pekerja yang berstatus kontrak, berdasarkan pengalaman kerja, berdasarkan ketrampilan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pengusaha untuk implementasinya di perusahaan masing-masing. Harapannya  tenaga kontrak lebih tinggi upahnya dibanding dengan upah pekerja tetap, tidak sekedar memenuhi upah minimum propinsi atau upah minimum sektor industri tertentu, mengapa ? Karena para pekerja kontrak tidak memiliki kepastian akan kelanjutan kontrak kerjanya, sedangkan pekerja tetap memiliki sejumlah fasilitas tunjangan yang lebih baik ketimbang pekerja kontrak. Jika sekiranya pengusaha merasa bahwa biaya pekerja kontrak lebih mahal dibanding dengan pekerja permanen maka dengan sendirinya pengusaha akan memilih status para pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja tetap. Sedangkan bagi pekerja, ini merupakan pilihan apakah ingin diangkat sebagai pekerja permanen ataukah ingin dengan status kontrak terus yang secara kasat mata terlihat upahnya lebih tinggi.

Kita belum juga hirau bahwa negara kita sudah tertinggal dalam memanfaatkan momentum transformasi bisnis. Di negara lain seperti India, Filipina, Cina, Vietnam, Amerika Lain dan Eropa Timur  sedang asyik menikmati devisa hasil dari transaksi impor pekerjaan. Kesempatan mendatangkan pekerjaan dari negara negara maju yang berbasis pada model pemborongan pekerjaan outsourcing bagi warga negaranya membuka kesempatan kerja dalam negeri. Sehingga kita tidak perlu repot ekspor TKI dimana di beberapa negara tujuan kerap kali dipermalukan.  Moralitas pengusaha harus disesuaikan, outsourcing bukan alat untuk mengurangi hak pekerja, bukan pula media memperjualbelikan jasa buruh.  Buruh harus dihargai, dipenuhi haknya, dikembangkan potensinya  sebagaimana adanya dan bukan porsi buruh untuk menghakimi pilihan perusahaan dalam menggunakan sistem dan strategi beroperasi. 

Karena praktek outsourcing merupakan pilihan strategi manajemen perusahaan maka praktek outsourcing tidak bakal mati, outsourcing hanya berganti merek menjadi Manajemen Bisnis Penunjang atau semisalnya, sementara pemerintah kedodoran dalam pengawasannya maka yang bakal terjadi adalah ketidakpastian  kesejahteraan para buruh, terganggunya ketenangan operasional bisnis dan yang menderita akhirnya pengusaha dan buruh juga.

Selama pengupahan tidak dirombak secara fundamental dan pelaksanaan aturan kesejahteraan tenaga kerja tidak dikawal penerapanya dengan ketat maka isu ketenagakerjaan tetap ada. Haruskah ini berlanjut terus dari tahun ke tahun menguras energi anak bangsa ? yang mestinya buruh bisa menikmati mayday sebagai hari libur namun yang terjadi justru sebaliknya...... so sorry, the mayday is still not holiday, Sir !  (ss)