Menjaga
Jaring Laba-Laba *
Teringatlah kita
pada jaring laba-laba: lembut, sensitif tetapi kuat bisa jadi
merupakan struktur alam “buatan” hewan yang paling cantik dan ekstra ruwet
rangkaiannya. Laba-laba membangunnya selangkah demi selangkah sebagai bagian perlindungan
diri dari predator sekaligus sebagai alat perangkap mangsa. Jika diperhatikan dengan seksama laba-laba
merangkai jaringnya, tertata apik dengan pola
konfigurari yang kompleks, dan berestetika. Membuktikan bahwa sang Maha
Pencipta laba-laba adalah desainer alam terbaik di jagad raya. Ketika salah satu bagian dari jaringnya
tersentuh oleh sesuatu, laba-laba segera mendekat menghampiri sumber getaran,
dimikianlah semisal seharusnya empati itu ada dalam diri manusia.
Peristiwa demi peristiwa bukanlah sesuatu yang boleh
dianggap sebagai rutinitas biasa. Mari kita perhatikan lingkungan mulai dari
lingkungan terkecil kita yaitu orang-orang yang setiap hari kita temui: rekan
kerja, suami, istri, anak, saudara, tetangga, atau orang tua kita. Setiap orang
memiliki kepekaan yang berbeda terhadap fenomena sosial yang ada di sekitarnya.
Bagi kita yang memiliki kepekaan empati seperti jaring laba-laba maka sentuhan
halus dari lingkungan sekeliling kita segera akan membangkitkan respon bagi
kita untuk bertindak. Tanpa kita sadari,
setiap manusia mengirimkan gelombang elektromagnetik dan energi panas ke
lingkungannya. Gelombang magnetik ini menimbulkan vibrasi yang akan
menggetarkan jaring-jaring empati manusia lainnya, sehingga antar manusia akan
terjadi peristiwa yang saling menggetarkan. Seberapa besar daya tangkap diri
manusia terhadap vibrasi dari manusia lainnya sangat tergantung dengan “status”
perasaannya. Melalui pengolahan jiwa terus-menerus seseorang bisa mengenal
‘status’ perasaannya sendiri, lalu kuat berempati dan kemudian memanfaatkan
emosinya untuk kebaikan kehidupan sosial di lingkukan kerja setiap hari.
Belajar merasakan sama pentingnya dengan belajar
bertindak. Berempati merupakan proses pikir dan proses rasa yang secara utuh
terlibat di dalam diri seseorang. Di dalam empati terkandung dua sisi, yaitu
sisi aktif sebagai upaya “masuk” ke dalam orang lain dan sisi pasif merupakan
refleksi atau penilaian orang lain atas diri kita. Hidup di lingkungan kerja
berarti harus siap terus menerus menghadapi situasi yang dilematis yang
melibatkan logika dan perasaan sendiri berhadapan dengan logika kolektif
perusahaan manakala suatu persolan harus dipecahkan. Disinilah
pintu masuk timbulnya segala macam resiko perbedaan kesimpulan, rasa,
bahkan kemungkinan berujung pada konflik. Karena pada dasarnya manusia secara
individu sangat ingin melindungi minat dan kepentingannya.
Layaknya jaring laba-laba, meskipun benang-benang halus
empati setiap orang berbeda, tidak usah menunggu sampai jaring-jaring terkoyak,
namun justru sebaliknya, orang yang memiliki kepekaan empati baru tersentuh
sedikit saja dapat segera tersadar akan kejadian di sekitarnya. Jika seseorang semakin jujur dengan apa yang
dirasakan maka akan semakin terbuka jalan yang dicari karena semakin mengetahui
passion nya sendiri.
Di dunia kerja setiap orang memiliki difinisi
sukses berkarir sendiri-sendiri. Penetapan sukses tanpa empati merupakan pilihan
terburuk dalam menjalani profesi. Kerja keras pasti akan membawa hasil baik,
akan tetapi hasil baik yang diraih tanpa empati hanya bermanfaat untuk diri
sendiri, tidak akan meninggalkan bekas yang berarti, kemudian pada saatnya akan
menguap sirna entah kemana pergi... (ss)
* Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media
Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2012-09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar