Kamis, 01 Mei 2014

Mayday is not holiday Sir !

Mayday is not holiday Sir !

Mayday ! Mayday ! Mayday ! sinyal tanda bahaya mengancam jiwa. Prosedur darurat permintaan bantuan ini, konon pada awalnya digunakan secara internasional dalam komunikasi radio oleh pelaut maupun penerbang. Kini mayday menjadi momen penting bagi buruh di seluruh dunia untuk angkat bicara menyuarakan tuntutan.  Tahun kemarin ada sepuluh tuntutan, tahun ini ada sepuluh tuntutan, tahun depan entah berapa dan apa lagi tuntutannya. Tanggal 1 Mei oleh pemerintah ditetapkan sebagai hari buruh dan oleh karenanya menjadi hari libur nasional.

Darurat ketenagakerjaan sesungguhnya telah terjadi bertahun-tahun, mencuat menjadi: isu tenaga kerja anak, isu upah, isu deportasi TKI, TKW teraniaya, status kontrak, isu praktek outsourcing.  Isu-isu tersebut merupakan puncak gunung es dari isu besar; kemiskinan, tidakmeratanya kesejahteraan, lemahnya pelaksanaan pengawasan praktek ketenagakerjaan.

Teriakan buruh menolak praktek outsourcing melalui aksi demo yang masive tahun-tahun lalu telah membuahkan hasil. Buah dari tuntutan itu tercermin dalam Permenakertrans No 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain resmi diberlakukan sejak Senin 19 November 2012. Seiring dengan diundangkannya peraturan itu di Berita Negara Nomor 1138 Tahun 2012 oleh Menteri Hukum dan HAM.  Permenakertrans ini sekaligus mencabut dua keputusan menteri yang lain yakni Kepmenakertrans No 220 Tahun 2004 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain dan Kepmenakerstrans No 101 Tahun 2004 tentang Tata Cara Perijinan Perusahaan Penyedia Jasa Pekerja/Buruh. Kedua keputusan tersebut ditengarai sebagai salah satu sumber dari “hingar bingar” praktek outsourcing. Intinya adalah Pemerintah saat ini memperketat praktek outsourcing.

Meskipun permenakertran ini tidak secara total menghapus praktek outsourcing.  Namun terbitnya permenakertran tersebut disambut dengan reaksi berbeda. Para buruh bersuka cita atas terbitnya peraturan ini karena selama ini mereka menganggap outsourcing  seperti perbudakan modern. Namun respon yang berbeda datang dari para pengusaha outsourcing  yang tergabung dalam Asosiasi Bisnis Alih Daya Indonesia  maupun pengguna  outsourcing­ yang tergabung dalam APINDO serta KADIN atas terbitnya peraturan ini. Mereka melakukan perlawanan atas terbitnya permenakertrans tersebut dengan mendaftarakan uji materi ke Mahkamah Agung dan telah diregister dengan Nomor 13P/HUM/Th.2013 tanggal 18 Februari 2013.

Kerja kontrak tetap berlangsung
Apapun hasil akhir dari upaya para pengusaha mendaftarkan uji materi ke MA bukan jaminan bahwa kerja dengan mekanisme outsourcing ataupun sistem kontrak bakal lenyap  dan bukan pula pekerja otomatis akan sejahtera. Memang ruang gerak praktek perusahaan jasa penempatan tenaga kerja semakin sempit, namun dengan berganti “baju” perusahaan tersebut masih bisa leluasa melakukan praktek outsourcing. Tanpa melanggar peraturan formal yang ada, yakni melalui sistem pemborongan pekerjaan.  Perusahaan outsourcing akan beroperasi berdasarkan kontrak bisnis yang sudah tertentu nilai rupiah dan jangka waktu pengerjaannya. Kemudian perusahaan outsourcing akan mencari tenaga kerja sesuai dengan jumlah dan kualifikasi borongan pekerjaan yang diterimanya. Mereka kemungkinan besar akan merekut pekerja dengan sistem non permanen menyesuaikan masa kontrak bisnis pekerjaan borongannya. Dan ini akan terus belangsung untuk semua jenis pekerjaan yang diborongkan di segala sektor industri.  Jika kontrak borongan pekerjaan selesai maka selesai pula kontrak kerja pekerjanya. Status pekerja akan selalu sebagai pekerja kontrak sepanjang tahun sepanjang masa, meskipun ada kemungkinan pendapatannya lebih besar dari pendapatan tahun sebelumnya. Isu status kontrak hanya beralih dari perusahaan pengguna outsourcing ke perusahaan pemborong pekerjaan yang jumlahnya dari waktu ke waktu akan semakin banyak. Dan semakin sulit untuk dikontrol mengingat jumlah pengawas ketenagakerjaan yang terbatas dengan sebaran wilayah dan jenis industri yang sangat beragram. Akibatnya kesejahteraan para buruh akan tetap sulit untuk dilindungi dan penderitaannya tak kunjung berakhir. Mayday pun  akan selalu berulang, demo buruh, mogok kerja, turun ke jalan.

Bukan Sekedar Status dan Upah Minimum
Pentingnya sensitifitas moral pengusaha dalam menjalankan strategi bisnis. Pengusaha diharap tidak hanya memikirkan cara akumulasi keuntungan terus meningkat dari tahun ke tahun.  Sementara biaya tenaga kerja yang dikeluarkan “dikendalikan” sedemikian rupa dimana pekerja bisa diganti kapan saja bila tidak sesuai kriteria. Adalah sungguh mengusik moral bila ada perusahaan yang mengumumkan keberhasilannya membukukan laba triliunan rupiah namun membagikan bonus kepada para pekerja sangat sedikit terlebih lagi membedakan besaran bonusnya jauh lebih besar kepada pekerja internalnya ketimbang pekerja kontraknya (outsourcing-nya).  Sejatinya jika mau mengakui lebih jujur, teliti, dan cermat, pangkal persoalan keresahan tenaga kerja (buruh) adalah pengupahan dan skill sets. Mekanisme sistem pengupahan dan besarannya “diserahkan” kepada masing-masing perusahaan. Jarang sekali mereka  memperhitungkan masa kerja, pemberian jaminan sosial dan perlindungan keselamatan kerja sangat normatif, terlebih lagi para pekerja di sektor industri yang tidak terlalu menuntut pekerjanya berketrampilan tinggi. Kesewenang-wenangan oknum pengusaha yang terkesan “luput” dari perhatian pemerintah juga merupakan bagian dari persoalan perburuhan. Sementara itu buruh terlanjur menganggap bahwa sebagai pekerja dengan status tetap merupakan cita-cita. Perlu diingat bahwa meskipun sebagai pekerja tetap dan tersedianya jenjang karir masih akan menimbulkan gejolak perburuhan jika praktek pengupahan dan “kesewenang-wenangan” tetap ada di tengah lemahnya pengawasan di lapangan.  Serikat pekerjapun harus memperkuat posisi tawarnya bukan hanya mengandalkan kekuatan massa tetapi juga harus dibarengi dengan kekutatan analisa sebab akibat mengapa upah buruh sebesar itu. Sehingga  dengan demikian bisa merumuskan tuntutan yang benar-benar jitu ke pemecahan akar permasalahannya seperti bagaimana mengatasi tingkat skill sets yang masih belum meyakinkan pengusaha.  Harusnya pemerintah bukan sekedar menetapkan besaran upah minimum yang setiap tahun cenderung menimbulkan friksi pengusaha dan buruh, tetapi juga memformulasikan struktur upah bagi pekerja yang berstatus kontrak, berdasarkan pengalaman kerja, berdasarkan ketrampilan sehingga dapat dijadikan pedoman bagi para pengusaha untuk implementasinya di perusahaan masing-masing. Harapannya  tenaga kontrak lebih tinggi upahnya dibanding dengan upah pekerja tetap, tidak sekedar memenuhi upah minimum propinsi atau upah minimum sektor industri tertentu, mengapa ? Karena para pekerja kontrak tidak memiliki kepastian akan kelanjutan kontrak kerjanya, sedangkan pekerja tetap memiliki sejumlah fasilitas tunjangan yang lebih baik ketimbang pekerja kontrak. Jika sekiranya pengusaha merasa bahwa biaya pekerja kontrak lebih mahal dibanding dengan pekerja permanen maka dengan sendirinya pengusaha akan memilih status para pekerja kontrak tersebut menjadi pekerja tetap. Sedangkan bagi pekerja, ini merupakan pilihan apakah ingin diangkat sebagai pekerja permanen ataukah ingin dengan status kontrak terus yang secara kasat mata terlihat upahnya lebih tinggi.

Kita belum juga hirau bahwa negara kita sudah tertinggal dalam memanfaatkan momentum transformasi bisnis. Di negara lain seperti India, Filipina, Cina, Vietnam, Amerika Lain dan Eropa Timur  sedang asyik menikmati devisa hasil dari transaksi impor pekerjaan. Kesempatan mendatangkan pekerjaan dari negara negara maju yang berbasis pada model pemborongan pekerjaan outsourcing bagi warga negaranya membuka kesempatan kerja dalam negeri. Sehingga kita tidak perlu repot ekspor TKI dimana di beberapa negara tujuan kerap kali dipermalukan.  Moralitas pengusaha harus disesuaikan, outsourcing bukan alat untuk mengurangi hak pekerja, bukan pula media memperjualbelikan jasa buruh.  Buruh harus dihargai, dipenuhi haknya, dikembangkan potensinya  sebagaimana adanya dan bukan porsi buruh untuk menghakimi pilihan perusahaan dalam menggunakan sistem dan strategi beroperasi. 

Karena praktek outsourcing merupakan pilihan strategi manajemen perusahaan maka praktek outsourcing tidak bakal mati, outsourcing hanya berganti merek menjadi Manajemen Bisnis Penunjang atau semisalnya, sementara pemerintah kedodoran dalam pengawasannya maka yang bakal terjadi adalah ketidakpastian  kesejahteraan para buruh, terganggunya ketenangan operasional bisnis dan yang menderita akhirnya pengusaha dan buruh juga.

Selama pengupahan tidak dirombak secara fundamental dan pelaksanaan aturan kesejahteraan tenaga kerja tidak dikawal penerapanya dengan ketat maka isu ketenagakerjaan tetap ada. Haruskah ini berlanjut terus dari tahun ke tahun menguras energi anak bangsa ? yang mestinya buruh bisa menikmati mayday sebagai hari libur namun yang terjadi justru sebaliknya...... so sorry, the mayday is still not holiday, Sir !  (ss)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar