Jumat, 09 Mei 2014

Wani Piro

Wani Piro* 

Wani Piro adalah gabungan dua kata bahasa Jawa yang multi arti, tergantung bagaimana intonasi dan ekspresi orang yang mengucapkannya. Ketika kata-kata tersebut diucapkan dengan intonasi tinggi akan terkesan menantang dan provokatif. Sebaliknya jika diucapkan dengan nada satire dan sambil lalu akan terkesan mengecilkan kemampuan lawan bicara namun tidak membuat lawan bicara marah atau tersinggung karena tidak perlu untuk diladeni. Ungkapan ini seakan mewakili iklim kondisi masyarakat kita yang tiap hari dijejali dengan hawa konsumerisme dan surga bagi mereka yang memiliki daya beli yang berlebih yang berarti memiliki pula posisi tawar yang tinggi.


Orang akan bertindak jika ada imbalannya berapa yang saya dapat untuk mengerjakan hal seperti itu. Maka bisa dipastikan bahwa esensi semangat tolong menolong akan semakin terpinggirkan dan menjadi barang usang yang tidak perlu lagi dipraktekkan. Wani Piro menjunjung tinggi asas untung rugi. Oleh karenanya, di dalam konsep Wani Piro, jangan bertanya tentang pengorbanan karena pengorbanan tidak memiliki tempat di sana. Pengorbanan terkandung nilai heroik, kepeloporan dan tidak mengharap imbalan dari manusia. Anda tentu masih ingat prinsip ekonomi kapitalis dengan modal tertentu mengharap keuntungan yang maksimal. Berapa besar yang aku berikan tergantung berapa besar yang aku terima. Aku akan memberi kalau aku menerima lebih dulu. Demikianlah matematika manusia, logis di era yang kompetitif. Manusia berlomba-lomba menciptakan sistem yang paling efisien. Ketika bicara efisien yang langsung terekam di otak kita adalah perbandingan pengeluaran dan pendapatan. Jikalau pendapatan tidak seberapa dibanding dengan pengeluaran dikatakan tidak efisien. Apalagi jika pendapatan lebih kecil dari pengeluaran pasti dibilang rugi. Lantas bagi mereka yang tidak memiliki resources, bagaimana akan memperoleh bantuan? dari mana dan dari siapa?

Selama ini kita selalu membandingkan segala hal, antara yang kita dapatkan dengan yang kita berikan.  Kita selalu berharap mendapatkan lebih dengan pengorbanan seminim mungkin.  Bahkan sebagai seorang karyawan kita selalu menuntut hak yang lebih dan cenderung tidak mau mengerti, dimana jika mendapatkan banyak tanggung jawab dan pekerjaan, kita mulai memperhitungkan antara gaji dan tanggung jawab yang kita pikul.  Bahkan sebagian karyawan bisa saja mulai mengeluh membandingkan kepada rekannya yang lain. Demikianlah kita yang selalu menggunakan logika standar matematika manusia. Anjuran untuk berkorban disikapi dengan dingin, kawatir akan hilang sumberdaya yang dimilikinya. Mana mungkin orang memberi malah bertambah hartanya ? Logika manusia tidak akan sampai ke sana. Tetapi Tuhan maha kuasa memiliki cara sendiri untuk mencukupkan keperluan manusia dan memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ya ... memang demikianlah banyak hal di dunia ini yang tidak bisa dilogikakan. Untuk berkorban tidak memerlukan logika untung rugi. Maka ketika sebagai karyawan maukah kita berkorban bersungguh-sungguh bekerja lebih dari yang kita terima dengan penuh hati ikhlas dan bahagia ? Sedangkan di sisi lain ketika sebagai pengusaha atau manajemen perusahaan maukah kita meningkatkan perhatian dan siap untuk lebih berbagi keuntungan kepada karyawan.  Harusnya “YA”  Sehingga pertanyaannya tidak lagi Wani Piro tetapi Wani Korban Piro - seberapa besar berani berkorban. (ss)

* Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2012-10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar