Wani Piro*
Wani Piro adalah gabungan
dua kata bahasa Jawa yang multi arti, tergantung bagaimana intonasi dan
ekspresi orang yang mengucapkannya. Ketika kata-kata tersebut diucapkan dengan
intonasi tinggi akan terkesan menantang dan provokatif. Sebaliknya jika
diucapkan dengan nada satire dan sambil lalu akan terkesan mengecilkan kemampuan
lawan bicara namun tidak membuat lawan bicara marah atau tersinggung karena
tidak perlu untuk diladeni. Ungkapan ini seakan mewakili iklim kondisi
masyarakat kita yang tiap hari dijejali dengan hawa konsumerisme dan surga bagi
mereka yang memiliki daya beli yang berlebih yang berarti memiliki pula posisi
tawar yang tinggi.
Orang akan bertindak jika ada
imbalannya berapa yang saya dapat untuk mengerjakan hal seperti itu. Maka bisa
dipastikan bahwa esensi semangat tolong menolong akan semakin terpinggirkan dan
menjadi barang usang yang tidak perlu lagi dipraktekkan. Wani Piro menjunjung
tinggi asas untung rugi. Oleh karenanya, di dalam konsep Wani Piro, jangan bertanya tentang pengorbanan karena pengorbanan
tidak memiliki tempat di sana. Pengorbanan terkandung nilai heroik, kepeloporan
dan tidak mengharap imbalan dari manusia. Anda tentu masih ingat prinsip
ekonomi kapitalis dengan modal tertentu mengharap keuntungan yang maksimal. Berapa
besar yang aku berikan tergantung berapa besar yang aku terima. Aku akan
memberi kalau aku menerima lebih dulu. Demikianlah matematika manusia, logis di
era yang kompetitif. Manusia berlomba-lomba menciptakan sistem yang paling
efisien. Ketika bicara efisien yang langsung terekam di otak kita adalah
perbandingan pengeluaran dan pendapatan. Jikalau pendapatan tidak seberapa
dibanding dengan pengeluaran dikatakan tidak efisien. Apalagi jika pendapatan
lebih kecil dari pengeluaran pasti dibilang rugi. Lantas bagi mereka yang tidak
memiliki resources, bagaimana akan
memperoleh bantuan? dari mana dan dari siapa?
Selama ini kita selalu
membandingkan segala hal, antara yang kita dapatkan dengan yang kita
berikan. Kita selalu berharap mendapatkan lebih dengan pengorbanan
seminim mungkin. Bahkan sebagai seorang karyawan kita selalu menuntut hak
yang lebih dan cenderung tidak mau mengerti, dimana jika mendapatkan banyak
tanggung jawab dan pekerjaan, kita mulai memperhitungkan antara gaji dan tanggung
jawab yang kita pikul. Bahkan sebagian karyawan bisa saja mulai mengeluh membandingkan
kepada rekannya yang lain. Demikianlah kita yang selalu menggunakan logika
standar matematika manusia. Anjuran untuk berkorban disikapi dengan dingin,
kawatir akan hilang sumberdaya yang dimilikinya. Mana mungkin orang memberi
malah bertambah hartanya ? Logika manusia tidak akan sampai ke sana. Tetapi
Tuhan maha kuasa memiliki cara sendiri untuk mencukupkan keperluan manusia dan
memberikan rezki dari arah yang tidak disangka-sangka. Ya ... memang demikianlah banyak
hal di dunia ini yang tidak bisa dilogikakan. Untuk berkorban tidak memerlukan
logika untung rugi. Maka ketika sebagai karyawan maukah kita berkorban bersungguh-sungguh
bekerja lebih dari yang kita terima dengan penuh hati ikhlas dan bahagia ? Sedangkan
di sisi lain ketika sebagai pengusaha atau manajemen perusahaan maukah kita
meningkatkan perhatian dan siap untuk lebih berbagi keuntungan kepada
karyawan. Harusnya “YA” Sehingga pertanyaannya tidak lagi Wani Piro tetapi Wani Korban Piro - seberapa
besar berani berkorban. (ss)
* Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media
Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2012-10
Tidak ada komentar:
Posting Komentar