Rabu, 25 Juli 2012

Dua Sisi Koin Marah



Dua Sisi Koin Marah *

Tabiat manusia memang beragam berhubungan erat dengan keteguhan dan kesabarannya saat berinteraksi dengan orang lain maupun saat menghadapi persoalan. Budaya kita terkenal untuk mengajarkan agar kita selalu santun, rendah hati dan bersabar. Implementasinya dalam bentuk tenggang rasa, lapang dada. Bila menjumpai individu marah, atau sekelompok orang marah sebagian kita menilai bahwa yang bersangkutan menjadi anti budaya. Tingkat kesabaran seseorang dalam menghadapi persoalan hidup memang berbeda-beda. Ada yang mampu menghadapi persoalan yang sedemikian rumit dengan perasaan tenang. Namun, ada pula orang yang menghadapi persoalan kecil saja ditanggapinya emosi amarah yang luar biasa. Ketidak-puasan atau ketidakcocokan terhadap apa yang ada di sekitar bila sampai pada puncaknya perlu diterobos sehingga diperlukan reaksi yang super kuat berupa luapan amarah. Demikian juga perasaan takut gagal menyebabkan perasaan tertekan yang berujung pada kemarahan. Kita merasa lega dengan marah tetapi juga kita merasa menyesal karena telah melampiaskan amarah. 
Sejatinya jika pribadi kita “berkelas” kitapun sudah mampu menangkap sinyal bahwa seseorang sedang marah meskipun orang tersebut tidak mengucapkan kata-kata keras.  Namun sayangnya diakui atau tidak, kita ini sedang hidup dalam masa dan situasi masyarakat yang bernurani ndableg sehingga tidak sanggup menangkap kemarahan jika tidak diungkapkan dengan tindakan-tindakan yang kasat mata. Sehingga perilaku kasar individu menjadi aktifitas yang dianggap biasa dan ini merupakan cikal bakal hilangnya sifat keramahtamahan yang sebelumnya dianggap sebagai ciri mulia bangsa kita.  Ironis memang, tetapi inilah realita yang ada.
Mengendalikan amarah bukan berarti tidak boleh marah dan karena tidak selamanya marah identik dengan hal yang negative yaitu bila marah mempunyai makna mendalam dan tak menyakiti siapapun, bahkan justru kemarahan membangkitkan kesadaran. Karena di tangan orang-orang tertentu, marah akan menjadi energi modal awal untuk sebuah rencana besar menuju suatu perbaikan. Kemarahan yang positif cenderung mencerminkan sikap tegas akan sebuah prinsip dan keputusan, karena biasanya dilakukan sudah melewati dasar pertimbangan yang matang tidak emosional. Hal ini bisa dilakukan oleh pribadi-pribadi yang unggul. Namun jika amarah keluar tanpa kendali maka akan berbalik menjadi sifat yang merusak dan mendatangkan permasalahan-permasalahan baru yaitu masalah di tempat kerja, hubungan pribadi, dan secara keseluruhan akan berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Sudah terbayangkan bila seorang pemarah menjadi pemimpin misalnya, maka dia akan diikuti bukan karena kepandaiannya atau kemuliaannya, tapi karena dia ditakuti. Kepemimpinan yang dibentuk atas dasar rasa takut hanya efektif untuk sementara waktu saja, yang berbekas hanyalah sakit hati para pengikutnya.
Kualitas pengendalian amarah tidak tergantung pada usia, gender, pendidikan ataupun status sosial. Semuanya bergantung pada kedekatan seseorang pada Penciptanya. Hadiah bagi siapa yang menahan marah adalah kebaikan di kemudian hari. Karena orang yang yang paling kuat bukanlah orang yang dapat mengalahkan orang lain dengan kekuatannya, tetapi orang yang mampu mengendalikan amarahnya - HR  Bukhari. (ss)

*Pernah dimuat di "Otsormedia" - Media Komunikasi Internal Global Outsourcing Service Group Edisi :2011-05

Tidak ada komentar:

Posting Komentar